Thursday, October 28, 2010

Sensor dan sepiring nasi putih

Terakhir saya membuat tulisan di sini adalah ketika saya masih bekerja di kantor pemerintahan. Sekarang saya sudah kembali bekerja pada korporat, menjadi mesin-mungkin-budak korporat penerbitan di Jakarta.

Saya lega bisa keluar dari kantor lama. Lega bisa mengerjakan hal yang saya sukai. Tapi memang benar apa perkataan klise itu, manusia memang tidak pernah puas. Apalagi manusia bernama saya.

Tak ada masalah dengan pekerjaan saya sekarang, sejujurnya. Tentu saja ada konflik-konflik yang berkisar dari sangat bodoh sampai sangat tidak masuk akal. Perkara rekan kantor yang berkelakuan aneh, berisik, dan menyebalkan, gaji yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari selama sebulan, sampai ke masalah sensor buku. Masalah terakhir ini mengganggu pikiran saya akhir-akhir ini karena saya benci melakukan itu. Intinya adalah jika memang ingin mencerdaskan dan menjaga moral "bangsa", kenapa masih juga menerbitkan roman picisan yang hanya akan mengantarkan "bangsa" ke ilusi kebahagiaan? Menjaga moral tidak cukup dengan memotong adegan panas dalam cerita (yang sangat umum dalam roman picisan mana pun yang bisa kalian temukan). Jika sudah berani berkomitmen untuk menerbitkan roman picisan yang tidak menawaran kekayaan sastrawi macam apa pun, seharusnya "mereka" berani untuk menampilkan kulit telanjang perempuan cantik yang pasti akan dinikahi lelaki tampan kaya dalam cerita.

Pikiran saya kembali lagi ke perkara betapa labilnya bangsa ini. Katanya mau dagang, tapi masih sok moralis. Katanya mau menjaga moral dan "ga mau ngajarin pembaca beradegan panas lah" tapi masih menerbitkan roman yang jelas terkenal akan adegan panasnya.

Itu seperti si pedagang bakso dengan sengaja membuang bakso terakhir yang kamu sisihkan ketika makan mie bakso dengan alasan daging olahan tidak baik untuk kesehatan.

Apalagi kalau kamu sudah menyisihkan uangmu yang tak seberapa untuk membeli baso.

Saya jadi ingat Mas dari UNICEF yang mencegat saya ketika saya berjalan pulang. "Apa artinya 5000 rupiah untuk Mbak, sementara itu bisa jadi sepiring nasi putih untuk anak-anak ini?" Reflek saya langsung menjawab dalam hati, sepiring nasi putih dengan sedikit lauk untuk makan siang saya...