Thursday, October 28, 2010

Sensor dan sepiring nasi putih

Terakhir saya membuat tulisan di sini adalah ketika saya masih bekerja di kantor pemerintahan. Sekarang saya sudah kembali bekerja pada korporat, menjadi mesin-mungkin-budak korporat penerbitan di Jakarta.

Saya lega bisa keluar dari kantor lama. Lega bisa mengerjakan hal yang saya sukai. Tapi memang benar apa perkataan klise itu, manusia memang tidak pernah puas. Apalagi manusia bernama saya.

Tak ada masalah dengan pekerjaan saya sekarang, sejujurnya. Tentu saja ada konflik-konflik yang berkisar dari sangat bodoh sampai sangat tidak masuk akal. Perkara rekan kantor yang berkelakuan aneh, berisik, dan menyebalkan, gaji yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari selama sebulan, sampai ke masalah sensor buku. Masalah terakhir ini mengganggu pikiran saya akhir-akhir ini karena saya benci melakukan itu. Intinya adalah jika memang ingin mencerdaskan dan menjaga moral "bangsa", kenapa masih juga menerbitkan roman picisan yang hanya akan mengantarkan "bangsa" ke ilusi kebahagiaan? Menjaga moral tidak cukup dengan memotong adegan panas dalam cerita (yang sangat umum dalam roman picisan mana pun yang bisa kalian temukan). Jika sudah berani berkomitmen untuk menerbitkan roman picisan yang tidak menawaran kekayaan sastrawi macam apa pun, seharusnya "mereka" berani untuk menampilkan kulit telanjang perempuan cantik yang pasti akan dinikahi lelaki tampan kaya dalam cerita.

Pikiran saya kembali lagi ke perkara betapa labilnya bangsa ini. Katanya mau dagang, tapi masih sok moralis. Katanya mau menjaga moral dan "ga mau ngajarin pembaca beradegan panas lah" tapi masih menerbitkan roman yang jelas terkenal akan adegan panasnya.

Itu seperti si pedagang bakso dengan sengaja membuang bakso terakhir yang kamu sisihkan ketika makan mie bakso dengan alasan daging olahan tidak baik untuk kesehatan.

Apalagi kalau kamu sudah menyisihkan uangmu yang tak seberapa untuk membeli baso.

Saya jadi ingat Mas dari UNICEF yang mencegat saya ketika saya berjalan pulang. "Apa artinya 5000 rupiah untuk Mbak, sementara itu bisa jadi sepiring nasi putih untuk anak-anak ini?" Reflek saya langsung menjawab dalam hati, sepiring nasi putih dengan sedikit lauk untuk makan siang saya...

Wednesday, July 7, 2010

Gelisah galau cemas

Kemarin saya berbincang dengan teman serumah lewat salah satu media messenger. Saya menceritakan rencana resign dari kantor sekarang karena kondisi yang kelewat mengerikan untuk standar saya. Tentulah ini terkait dengan orang-orang yang sepatutnya saya "layani" di kantor. Orang-orang inilah yang membuat saya merasa pilu, cemas, dan akhirnya putus asa memikirkan apa yang akan terjadi pada negara ini di masa depan. Saya menceritakan pada si housemate diskusi singkat saya dengan salah seorang senior di kantor. Si Mbak senior ini berhasil menjadi ignorant dan melepaskan segala urusan "beban moral" dengan pemaafan yang sangat sederhana: "Ah mereka kan memang begitu semua kelakuannya, sudahlah ga usah dipikirkan. Yang penting kita ga jadi seperti mereka."

Yang menjadi pertanyaan saya saat itu adalah apakah memang saya harus menjadi manusia tak acuh? Ketika saya tahu betul ada yang salah dengan sistem, budaya dan perilaku manusia-manusia yang semestinya bisa mewakili satu negara ini? Kembali lagi kalimat cliche itu mengalun "ignorant is a bliss". We are not living in a matrix world, are we? Or are we?

Kalau memang segala sesuatu yang, katakanlah, amoral bisa ditutup dengan sesederhana mengatakan ah sudahlah memang begitu wataknya apa mau dikata--kenapa kemudian tindakan yang katanya amoral semacam sexual intercourse terekam dalam video harus ditindak pidana? Kenapa kita tidak lantas berkata, "Ah sudahlah. Namanya juga rockstar. Senang pada banyak perempuan, disenangi banyak perempuan."

Saya sudah beberapa kali membaca artikel, entah di koran entah di situs, tentang betapa munafiknya bangsa Indonesia ini. Tentang bagaimana orang-orang Indonesia mampu mengedepankan isu amoral yang satu tapi lantas memaklumi yang lain. Ariel (hendak) diusir dari Bandung, sementara para petinggi dengan santai merencanakan agenda liburan dengan uang negara.

Mungkin tulisan saya tidak bisa menjelaskan betapa kesalnya saya terhadap double standard yang jelas nyata hadir di negara ini. Bangsa ini buta, sibuk mengultuskan hal-hal yang tidak penting, mencoba dengan lantang berkata bahwa kami beragama bermoral berbudaya (Timur)....tapi kemudian lupa lupa lupa akan banyaknya anak ibu orangtua tertidur di jalan jembatan penyebrangan lampu lalu lintas kelelahan karena masih harus bertahan diterpa angin malam tanpa atap untuk sekeping logam.

Saya tahu saya tidak akan bisa menawarkan atau membuat penyelesaian dari masalah-masalah di kantor ini. Saya mungkin hanya bisa membuat keputusan sangat egois sekarang, berhenti dan mengejar kebahagiaan saya. Barangkali nanti saya bisa menularkan kebahagiaan saya pada orang-orang lain yang sibuk menapaki jalan menuju kebahagiaan mereka masing-masing.


Monday, July 5, 2010

A letter

Yes, indeed, I would compromise--if that what makes you happy, leaving will be an option. I would not object, yet sadness cannot be compromised for it has its own wishes and fears, I'm afraid.

Well, of course I would love to see you finding new adventures and life here, just a sigh away from me. But make sure you will not trap yourself in the so-called comfort since what you need is not always what lies before you. Do careful taking your future steps, small pebbles can do you harm.

You are a traveler, on land, in life, in the universe of infinite time and space. Let nothing get into your way. We are connected, through whisper, words and air. Waste not, gain while you have the time.

I bid you luck.

Tuesday, June 15, 2010

Morning paper

Stupid sex videos lead to censorship and threat to the freedom of expression. That's what I understood after reading the paper this morning. Apparently the minister Tifatul wanted to jostle the ITE (Information and Electronic Transactions) law because of these widely-distributed sex videos.

My friend, a journalist and chairperson of an independent journalist association, stated on his Facebook status that Mr. Peterporn has directed the ITE issue back on course, the course that was strongly opposed by journalists recently when it was brought up to public's attention.

I also read that the FPI members would raid Luna Maya's house and drag her to the police station themselves to be convicted as a criminal if the police does not conduct a proper investigation on this case. O may gawd. I wonder why they didn't make this statement when a sex tape of a member of parliament and woman got published and distributed widely.

Related to this, the education minister stated that sex education is not needed and it is more important for the teachers to conduct regular raid on students' cellphones--to check whether students have any pornographic content on their phones or not. The minister believes that children will learn sex naturally and that sex education will not protect them from pornography. Well, fuckin d'oh mister minister, sex education will help the children to protect themselves from getting or transmitting any sexual disease to or from other people in the future. Plus sex education will give these children general knowledge on health.

Oh Ariel mate, you should've taken care of your valuable things more careful, especially if you're *dealing with high profile people.


*fumbling around on bed in various positions

Saturday, June 12, 2010

Sore ini

Akhirnya...
menapaki jejak usang masa lalu di tanah basah dan guguran dedaunan
sore hari, hujan baru saja reda, angin membelai helai rambut perlahan
jemari cahaya menempel lembut pada kulit yang sedikit mengerut kedinginan
titik-titik air belumlah kering.

Kata-kata tertukar, cerita berputar
yang lampau, kini dan nanti
dalam satu arus cepat seiring langkah ringan berderap
daun-daun berguguran di pojok bumi sana.

Kesenduan ini datang merayap
seiring dengan tutur yang meraba.

Akhirnya,
pulang kembali.

Monday, May 31, 2010

Perlindungan Perempuan

Menyambung tulisan saya yang sebelumnya, saya baru mendapatkan kejelasan alasan kenapa warga setempat di lingkungan tempat tinggal pacar saya harus meributkan keberadaan perempuan Indonesia di rumah sang pacar.

Klarifikasi cerita ini datang ketika saya akhirnya bisa bertemu dengan sang pacar dan teman serumahnya (yang juga berpacaran dengan orang Indonesia). Bapak RT menjelaskan pada mereka bahwa tidak jadi masalah jika lelaki Indonesia atau perempuan non-Indonesia menginap di rumah tersebut tapi tidak untuk perempuan Indonesia. Kenapa? Karena mereka (warga) ingin melindungi kepentingan perempuan Indonesia, khususnya yang datang ke rumah orang asing ini.

O may gawd. Itu mungkin alasan paling busuk--yang sayangnya sudah bisa saya duga--yang bisa dikemukakan oleh seorang Pak RT mewakili aspirasi warga setempat.

Secara tidak langsung mereka membuat klaim 1) perempuan Indonesia yang datang ke sana harus dan butuh dilindungi; 2) lelaki non-Indonesia di sana tidak dapat dipercaya untuk "melindungi" perempuan Indonesia yang berkunjung dan menginap; 3) perempuan non-Indonesia entah dipercaya bisa melindungi diri sendiri atau sudah terlalu biadab untuk dilindungi oleh warga setempat; 4) warga bisa memberikan perlindungan dalam bentuk entah apa terhadap kami, saya, perempuan Indonesia.

O may gawd lagi.

Saya tidak butuh dilindungi dari pacar saya sendiri, itu sudah jelas. Kalau pun iya, I can protect myself and I certainly don't need or ask for the neighborhood's protection. And I'm fully aware that the whole protecting business is just one load of crap. They all have such a boring life, they need to put their noses in other people's business, creating reasons for them to life on until probably the end of the world.

Si teman saya sambil tertawa mengejek berkata, "They want to protect you, Ari, from the immoral 'bule' like us. They want to preserve your high values as a women."

Saya kemudian mengusulkan pada mereka untuk mulai memelihara seekor babi lucu di rumah itu. Mungkin itu akan meredakan tingkat ketegangan di sekitar rumah. What's more fun than walking your pet pig around the neighborhood in the afternoon?

Thursday, May 27, 2010

Social norms and its problems

We are living in a society with, why of course, social norms. Especially in Indonesia, these social norms are the way of conduct to be upheld, the way you--as a part of the society--react and act on different issues in life. One particular section in such norms is how a girl or woman to act decently or properly.

It always fascinates me the way Indonesian society rules the way Indonesian women live their lives. I, for example, have been an object to this social regulation imposed forcefully upon me. I'm currently dating a non-Indonesian (hate to say foreigner, because he's no longer "foreign"). As any normal dating process would go, I'd regularly visit my boyfriend and vice versa. Sometimes I'd spend a night at his place and he would do the same. I would go to the office early in the morning since traffic's always crazy in this city.

Apparently, my--perhaps--quite often appearances early in the morning in the neighborhood had risen a problem. The neighbors (I suspect they're the non-working women that watch too much telly) reported to the neighborhood security guards that there were several Indonesian girls who spent the night at my boyfriend's house. He lives with several other people, and one of his friend also dates an Indonesian. And the neighbors don't like seeing girls coming in and out of the house. So came a security guard telling the people at the house to not allow any (Indonesian) girl to stay over again.

I will emphasize the nationality here. In the house, there is also a couple who basically are living together. But they're both Germans which of course the guy constantly sleeps over at the girl's place doesn't raise any issue. Why? I guess it's easier for the neighbors to accept the fact that foreigners have a different way of life and interact with each other. But fellow Indonesians must uphold the norms. Or they don't suspect anything from the Germans couple, yet they have a certain idea on us, me, Indonesian girls that visit regularly the "bule's" house. The general idea is girls dating foreigners are not "perempuan baik-baik", loosely translated they are not "decent women". And this idea is sooooo last century or so.

Do the neighbors still have the narrow view on Indonesian girls dating foreigners? Why my action--spending night at a foreigner's house--was considered as inappropriate? Am I degrading myself by doing so? Why would they bother? My action has not created any loss on their side. However, their action has made spending time together with my boyfriend a bit difficult. It won't affect my relation of course but the society--not even the one I'm living in--has obstructed bits of my freedom. It would be nice if they would just come directly to me and explain this issue. Instead, they went to the security guard who later came to the house and talked to my boyfriend. Typical communication pattern in an Indonesian society.

This is not my first experience in this issue. I really hope this will be the last, even I highly doubt that there won't be this kind of problem in the future if I date a foreigner.

Friday, April 30, 2010

Menapaki jejak

Apa sih yang membuat Bandung begitu berkesan untuk saya? Mengutip dari tulisan saya sendiri di akun lainnya, Bandung adalah sore hari, berjalan kaki sendirian di trotoar dengan daun-daun kering berjatuhan di sela semburat senja.

Saya rindu kesendirian yang damai. Saya ingin kembali bisa merasakan hangat yang merayap pelan-pelan ke lengan yang telanjang; mengusap peluh yang muncul karena berjalan kaki cukup jauh--saat itu--dari Dago atas sampai ke Jl. Merdeka.

Di Jakarta, saya tak bisa menemukan kedamaian macam ini. Entah karena saya memang tak pernah merasa kerasan di kota ini atau karena saya yang tidak mau merusak kenangan saya akan kota berangin sejuk itu. Saya cenderung ingin memertahankan ingatan manis di satu tempat, tidak membuat replikanya di tempat baru.

Akhir pekan kemarin saya pulang, nyaris tidak bernafas karena agenda saya padat luar binasa. Bertemu si A untuk makan siang dan jalan-jalan lalu janji makan malam dengan si B. Pergi dari tempat 1 ke tempat 2, 3, 4 dan seterusnya. Seharian penuh saya di luar rumah. Baru tengah malam, saya bisa duduk dan mengurusi kucing-kucing saya yang sudah bosan menunggu saya pulang.

Tiba di Jakarta nyaris tengah malam, dengan badan nyaris rontok. Saya butuh istirahat lagi. Saya butuh Bandung yang santai, bukan yang macet sesiang bolong dan membuat saya harus berangkat dari pagi hari untuk menyelesaikan semua urusan.

Iya, saya kangen Bandung. Bandung yang tenang di sore hari yang hangat dengan daun-daun berguguran dibawa angin sejuk.

*keluh*

Monday, April 12, 2010

Ketika kantuk datang

Ini memang masih hari pertama prajab, tapi aroma kebosanan sudah menghantui seperti bau kepala ikan dalam kantung plastik sampah di dapur ibumu...mengganggu sekalipun tidak terlihat, kau tahu ada bau busuk di dasar plastik.

Saya tidur cukup semalam, 8 jam, tapi sayangnya itu tidak membantu kesadaran saya untuk bertahan mendengarkan pemateri cuap2 di depan panggung. Lagi-lagi, ini semua karena omong kosong yang berlebihan.

Masih ada 13 tiga perempat hari lagi. Untung ada teman yang rela BBnya saya bajak sejenak untuk menulis di sini. Kalau tidak, saya sudah akan tertidur sedari tadi. Ya tuhan, kebosanan macam apa ini?

Oya, rambut saya sukses berbau karat. Tampaknya trend di tempat pelatihan ini adalah aroma karat di air mandi. Keramas pake aqua aja kali ya? *songong*

Seharusnya saya membeli BB sebelum saya pergi *sigh*

Bersambung...

Sunday, March 28, 2010

Di persimpangan

Bandung dengan udaranya yang menggigit malam itu, saya yang mendamparkan diri di sebuah pertunjukkan musik yang katanya harus jalan terus meskipun ada Earth Hour, saat ketika kita semua diminta mematikan semua peralatan listrik.

Malam itu membangkitkan banyak ingatan, mengutip perkataan si teman yang duduk bersandar di tembok sebelah saya yang juga menyembunyikan diri di tembok jauh dari kerumunan. Sementara kami sedang ngobrol tak jelas, lelaki bertampang lucu berkacamata bertubuh tinggi semampai melintas di depan kami. Sesaat kemudian saya tersadar bahwa itu adalah salah satu awak grup yang akan kami tonton. Tertawa, berpikir untuk menjegal kakinya dan membawanya pulang ke rumah.

Hujan malam temaram di kota ini. Saya sempat terbengong-bengong di tengah kebisingan musik satu band lokal yang saat itu ada di atas panggung. Ingatan kembali ke masa-masa berseragam, dengan kebisingan yang mirip, kerumunan yang hampir serupa. Berpasang-pasang, bergandeng tangan, tertawa terkikik-kikik dan mendesah ketika lagu favorit dimainkan. Kemudian si teman mengomentari sepasang yang duduk berlawanan dari kami, menyisakan satu kursi kosong di sebelah mereka.... "Ah ya, memang kalau sudah begitu, dunia serasa milik berdua toh," ujarnya sinis karena kami tak berhasil mendapatkan kursi di dalam ruangan pertunjukkan dan hanya ada kursi kosong untuk satu orang di beberapa baris yang berbeda. Itu karena sebagian besar datang berpasang-pasangan.

Pertanyaan yang sama berulang, "Kenapa putus?" Saya tersenyum simpul dan menepuk-nepuk punggung si teman. Suasana ini terdengar terlalu familiar. Bertemu dengan beberapa teman lama, diberi pertanyaan yang sama, "Ke mana aja?" Saya ingin menjawab sebenarnya: ah, saya tak ke mana-mana. Selalu di tempat yang sama, tempat saya bisa menemukan diri saya sendiri. Alih-alih, saya menjawab "Jakarta..."

Bandung yang hujan melulu, dingin dan membuat asma saya kambuh. Tapi saya tak ingin "pulang", saya ingin tinggal.


Monday, March 8, 2010

Dear friends

Saya merasa akhir-akhir ini teori seleksi alam terimplementasikan dengan sempurna dalam kehidupan pertemanan saya di ibukota. Entah karena sekarang saya hidup di kota yang seringkali terlihat seperti arena pertarungan yang tidak pernah meramah jua seiring dengan waktu.

Ada saatnya ketika saya "meminggirkan" orang-orang yang saya sebut sebagai kenalan, teman, rekan kerja atau apa lah karena prioritas saya yang memang aneh. Kemudian ada saatnya saya yang dipinggirkan oleh kenalan, teman, rekan kerja atau apa lah. Saya seringkali merasa tidak nyaman di dua kondisi itu, baik sebagai pelaku ataupun obyek. Tak pernah menyenangkan untuk meminggirkan orang lain (dengan alasan apa pun) ataupun dipinggirkan oleh orang lain (dengan alasan apa pun).

Kemudian rasanya memang seperti seleksi alam. Yang tidak berusaha lebih mempertahankan eksistensi di rimba belantara sosial pastinya akan terhimpit rentetan peristiwa dan manusia. Yang berusaha tapi tak cukup giat atau tidak berhasil menemukan modus yang tepat untuk itu, tentunya akan tergilas kepedulian yang datang dari kiri dan kanan, depan belakang, barat timur.

Saya teringat teman-teman saya di Bandung. Pertemuan saya dengan mereka maksimal sebulan sekali tapi saya tahu mereka akan tetap di sana, sama ketika saya meninggalkan mereka pindah ke kota ini. Entah mungkin karena saya sudah mengenal mereka selama bertahun-tahun, saya yakin mereka akan ada ketika saya datang. Memang cukup sulit untuk menemui mereka ketika saya berkunjung karena kesibukan proyek ini dan itu tetapi selalu ada rasa yang sama ketika saya menghubungi mengajak bertemu..."Ya ya mari berbagi cerita."

Saya merasa cukup beruntung berhasil menemukan (dan ditemukan) segelintir manusia-manusia dengan frekuensi yang sama. Mereka yang membuat saya bertahan hidup dan tetap waras di sini. Sementara yang tak terjangkau tangkapan frekuensi saya...perlahan memudar dan hilang saling tarik-menarik dengan frekuensi lain. Ketika menyaksikan frekuensi tak cocok memudar, dan saya sadar bahwa pada satu masa semuanya akan hilang, perasaan tidak nyaman itu seringkali merayap masuk ke kepala. Pertanyaannya yang lahir dengan segera adalah: haruskah saya mencoba memutar kepala agar tangkapannya lebih bagus? Haruskah saya berusaha?

Dan jawabannya seringkali sama, saya biarkan mereka memudar dan hilang. Semua orang akan berhasil menemukan kebahagiaan mereka sendiri, dengan ada saya dalam cerita hidup mereka atau tidak, tak akan ada bedanya.

Wednesday, March 3, 2010

Saya dan Interpol

Saya dan Interpol adalah perpaduan keseharian di kantor beberapa waktu terakhir ini. Hanya saya dengan Paul Banks berseru-seru dengan irama yang membuat kepala saya ikut bergoyang, headphones menjadi aksesori rambut yang tak terlalu kentara.

Sementara manusia-manusia lainnya sibuk dengan gosip pagi tadi di bis jemputan kantor. Dan tentunya saya jadi ditinggalkan karena saya memilih untuk mendengarkan racauan Paul Banks ketimbang rekan sekantor saya. Lucu saja karena saya bisa merasa tidak punya teman karena saya tidak mengikuti gosipan terakhir di kantor, karena saya tidak tertawa keras-keras ketika ada orang lain yang melucu, karena saya jarang sekali berkelakar ketika sedang bekerja, karena saya terlanjur dikenal sebagai orang yang (mungkin) terlalu serius. And this girl with the twitching eyes really bothers me. I don't know why but I have a bad feeling about her. Plus, saya sehari tidak masuk kantor karena saya sakit. Ada pekerjaan yang harus saya tinggalkan dan tampaknya revisi masuk terus-menerus. Pekerjaan itu tentunya sudah dikerjakan oleh anggota tim yang lain. Oh well, I may never get a promotion in this office, adding more reasons to quit this job someday.

Maka saya hanya dengan Interpol. Banks berseru:
We all get paid
Yeah some get faith before they die
Then through stars we will navigate
Through the holes in your eyes

Lagu-lagu mereka (tentunya) mengingatkan saya pada Joy Division, satu lagi band yang beberapa waktu terakhir ini saya dengarkan berulang-ulang. Karakter vokal Banks membuat saya gampang sekali melamun, mengingat kejadian semalam yang terasa lucu jika dibahas sekarang.

Saya dan dua orang lainnya. Itu hal lain yang melintas ketika saya membuat tulisan ini. Yang satu meledak-ledak dengan semangat yang sepertinya selalu terisi penuh. Entah dia mendapatkan tenaga dari mana tapi pipinya selalu bersemu merah karena semangat. Yang lainnya lebih tenang dengan cara bertutur yang teratur, hampir tidak ada lonjakan intonasi. Tidak melulu datar memang tapi dia tahu gimana caranya bicara. Dan dia tahu apa yang harus dia katakan.

Hum... saya, interpol, dua orang tak dikenal.

"We should take a trip now to see places
I'm sick of this town
I see my face has changed."


Wednesday, February 17, 2010

Placebo

Kemarin, akhirnya, setelah menunggu dari jaman saya masih bersekolah di jenjang SMP, saya berhasil menyaksikan Molko, Olsdal dan Forrest (plus tiga additional players) langsung, hidup, in flesh on stage.

Ketika mereka pertama masuk panggung, saya hanya bisa bengong. Terperangah bingung, setengah tidak percaya bahwa saya memang sedang menyaksikan band yang lagu-lagunya sudah menemani saya bertahun-tahun di kejadian yang berbeda-beda. Molko dengan baju hitam-hitam, Olsdal dengan celana glittering silver *alamak* ditambah serangkaian gitar yang bikin partner nonton konser saya nyaris nangis darah. Lagu pertama lewat dengan cepat. Saya masih juga bengong. Kalau sampai menangis agaknya kebangetan ya *hihi* jadi anjing-anjing-keren-banget-gila keluar berulang-ulang. Setelah lagu kedua mulai, saya baru mulai bisa sepenuhnya sadar bahwa ini memang terjadi. Saya sedang nonton Placebo langsung!!! Dammit, that's kinda hard to believe after all the waiting.

Molko tampil maksimal...sekalipun sesungguhnya saya tak punya perbandingan juga. Tapi semangatnya terasa. Olsdal seperti biasa bergoyang-goyang lambat dengan gitar tepat on his crouch...oh gitarnya juga manis, glittering white guitar. Cocok dengan celana.

Mereka bawa beberapa lagu lama (jangan tanya berapa). "Meds" dari album berjudul sama adalah salah satu yang di-arrange ulang dan lagu itu terdengar lebih sendu dari versi asli sekalipun irama drumnya jauh lebih menggila. Forrest semangat banget main drumnya. Kalau ingat drummer dulu, Schultzberg, Placebo sekarang tidak terlalu gloomy. Jadi ingat omongan Molko di salah satu wawancara dengan TV Inggris. Dia bilang pergantian drummer itu membuat warna lagu-lagu Placebo less gloomy dan dark. Molko komentar Meds terlalu gelap dan pesimis sehingga album terakhir mereka, Battle for the Sun, dibuat lebih ada warna.

Pertunjukkan terasa agak ngebut sih, konser rampung dalam waktu satu jam lebih beberapa menit. Molko jarang berinteraksi dengan penonton. Saya ingat dia hanya tiga kali bicara langsung dengan penonton. Selebihnya mereka lompat dari satu track ke track berikutnya. Tapi, goodness, penampilan mereka bikin saya memang terlempar ke masa lalu, ke momen-momen ketika lagu mereka jadi soundtrack, ke rasa-rasa yang saya pernah alami...kenangan melaut dan mengubur saya dalam kehangatan yang aneh. Saya tentulah sibuk berteriak-teriak ikut bernyanyi. Sesekali rambut seorang ababil yang berdiri di depan saya menghalangi tangan untuk bergerak ekspresif. Si partner konser sibuk memerhatikan gitar dan satu-satunya additional player perempuan di band itu. Duh, mbak ini bisa main violin, keyboard, chaos pad plus nyanyi...walaaaaa keren.

Saya sejujurnya tak menghitung mereka membawakan berapa lagu. Banyak *grin*. Terlalu sibuk memandang Molko dan Olsdal, mencoba menanamkan mereka lengkap dengan semua lagu dan suasana stage di memori yang paling jauh biar tak cepat hilang. Ah ya ampun, Molko dari dekat... saya tak tahu kata sifat yang paling tepat apa. Androgenic. And, fuck it, he's ridiculously sexy... *maaf, komentar fisik harus ada*

Kita skip ke bagian akhir konser. Lagu terakhir (apa ya?ahahaha ga bakat jadi wartawan, terlalu nge-fans sih) selesai dimainkan, semua orang teriak-teriak histeris...mereka maju dan berbaris, mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal. Oh eh, saya langsung jadi bego lagi. Tak percaya kalau konsernya selesai begitu cepat.

*sigh* sekarang tinggal menunggu atau mengejar Radiohead. Setelah itu saya bisa bernafas tenang :)

*ditulis diiringi Battle for the Sun




Tuesday, February 2, 2010

Farewell

Then it is goodbye darling
when I recovered the last body
rotten, failing to grasp the air
filling life to the fat maggots.

Thus I would climb back up
to the tiny spot of light
in the end of the long tunnel
the deep hole I’ve been digging.

Farewell thee farewell
I bid you good night as dark falls
I am truly sorry to leave such a mess.
Yet you won’t see
dead bodies and fat maggots
‘tis you my love
dead bodies and fat maggots.