Sunday, March 28, 2010

Di persimpangan

Bandung dengan udaranya yang menggigit malam itu, saya yang mendamparkan diri di sebuah pertunjukkan musik yang katanya harus jalan terus meskipun ada Earth Hour, saat ketika kita semua diminta mematikan semua peralatan listrik.

Malam itu membangkitkan banyak ingatan, mengutip perkataan si teman yang duduk bersandar di tembok sebelah saya yang juga menyembunyikan diri di tembok jauh dari kerumunan. Sementara kami sedang ngobrol tak jelas, lelaki bertampang lucu berkacamata bertubuh tinggi semampai melintas di depan kami. Sesaat kemudian saya tersadar bahwa itu adalah salah satu awak grup yang akan kami tonton. Tertawa, berpikir untuk menjegal kakinya dan membawanya pulang ke rumah.

Hujan malam temaram di kota ini. Saya sempat terbengong-bengong di tengah kebisingan musik satu band lokal yang saat itu ada di atas panggung. Ingatan kembali ke masa-masa berseragam, dengan kebisingan yang mirip, kerumunan yang hampir serupa. Berpasang-pasang, bergandeng tangan, tertawa terkikik-kikik dan mendesah ketika lagu favorit dimainkan. Kemudian si teman mengomentari sepasang yang duduk berlawanan dari kami, menyisakan satu kursi kosong di sebelah mereka.... "Ah ya, memang kalau sudah begitu, dunia serasa milik berdua toh," ujarnya sinis karena kami tak berhasil mendapatkan kursi di dalam ruangan pertunjukkan dan hanya ada kursi kosong untuk satu orang di beberapa baris yang berbeda. Itu karena sebagian besar datang berpasang-pasangan.

Pertanyaan yang sama berulang, "Kenapa putus?" Saya tersenyum simpul dan menepuk-nepuk punggung si teman. Suasana ini terdengar terlalu familiar. Bertemu dengan beberapa teman lama, diberi pertanyaan yang sama, "Ke mana aja?" Saya ingin menjawab sebenarnya: ah, saya tak ke mana-mana. Selalu di tempat yang sama, tempat saya bisa menemukan diri saya sendiri. Alih-alih, saya menjawab "Jakarta..."

Bandung yang hujan melulu, dingin dan membuat asma saya kambuh. Tapi saya tak ingin "pulang", saya ingin tinggal.


Monday, March 8, 2010

Dear friends

Saya merasa akhir-akhir ini teori seleksi alam terimplementasikan dengan sempurna dalam kehidupan pertemanan saya di ibukota. Entah karena sekarang saya hidup di kota yang seringkali terlihat seperti arena pertarungan yang tidak pernah meramah jua seiring dengan waktu.

Ada saatnya ketika saya "meminggirkan" orang-orang yang saya sebut sebagai kenalan, teman, rekan kerja atau apa lah karena prioritas saya yang memang aneh. Kemudian ada saatnya saya yang dipinggirkan oleh kenalan, teman, rekan kerja atau apa lah. Saya seringkali merasa tidak nyaman di dua kondisi itu, baik sebagai pelaku ataupun obyek. Tak pernah menyenangkan untuk meminggirkan orang lain (dengan alasan apa pun) ataupun dipinggirkan oleh orang lain (dengan alasan apa pun).

Kemudian rasanya memang seperti seleksi alam. Yang tidak berusaha lebih mempertahankan eksistensi di rimba belantara sosial pastinya akan terhimpit rentetan peristiwa dan manusia. Yang berusaha tapi tak cukup giat atau tidak berhasil menemukan modus yang tepat untuk itu, tentunya akan tergilas kepedulian yang datang dari kiri dan kanan, depan belakang, barat timur.

Saya teringat teman-teman saya di Bandung. Pertemuan saya dengan mereka maksimal sebulan sekali tapi saya tahu mereka akan tetap di sana, sama ketika saya meninggalkan mereka pindah ke kota ini. Entah mungkin karena saya sudah mengenal mereka selama bertahun-tahun, saya yakin mereka akan ada ketika saya datang. Memang cukup sulit untuk menemui mereka ketika saya berkunjung karena kesibukan proyek ini dan itu tetapi selalu ada rasa yang sama ketika saya menghubungi mengajak bertemu..."Ya ya mari berbagi cerita."

Saya merasa cukup beruntung berhasil menemukan (dan ditemukan) segelintir manusia-manusia dengan frekuensi yang sama. Mereka yang membuat saya bertahan hidup dan tetap waras di sini. Sementara yang tak terjangkau tangkapan frekuensi saya...perlahan memudar dan hilang saling tarik-menarik dengan frekuensi lain. Ketika menyaksikan frekuensi tak cocok memudar, dan saya sadar bahwa pada satu masa semuanya akan hilang, perasaan tidak nyaman itu seringkali merayap masuk ke kepala. Pertanyaannya yang lahir dengan segera adalah: haruskah saya mencoba memutar kepala agar tangkapannya lebih bagus? Haruskah saya berusaha?

Dan jawabannya seringkali sama, saya biarkan mereka memudar dan hilang. Semua orang akan berhasil menemukan kebahagiaan mereka sendiri, dengan ada saya dalam cerita hidup mereka atau tidak, tak akan ada bedanya.

Wednesday, March 3, 2010

Saya dan Interpol

Saya dan Interpol adalah perpaduan keseharian di kantor beberapa waktu terakhir ini. Hanya saya dengan Paul Banks berseru-seru dengan irama yang membuat kepala saya ikut bergoyang, headphones menjadi aksesori rambut yang tak terlalu kentara.

Sementara manusia-manusia lainnya sibuk dengan gosip pagi tadi di bis jemputan kantor. Dan tentunya saya jadi ditinggalkan karena saya memilih untuk mendengarkan racauan Paul Banks ketimbang rekan sekantor saya. Lucu saja karena saya bisa merasa tidak punya teman karena saya tidak mengikuti gosipan terakhir di kantor, karena saya tidak tertawa keras-keras ketika ada orang lain yang melucu, karena saya jarang sekali berkelakar ketika sedang bekerja, karena saya terlanjur dikenal sebagai orang yang (mungkin) terlalu serius. And this girl with the twitching eyes really bothers me. I don't know why but I have a bad feeling about her. Plus, saya sehari tidak masuk kantor karena saya sakit. Ada pekerjaan yang harus saya tinggalkan dan tampaknya revisi masuk terus-menerus. Pekerjaan itu tentunya sudah dikerjakan oleh anggota tim yang lain. Oh well, I may never get a promotion in this office, adding more reasons to quit this job someday.

Maka saya hanya dengan Interpol. Banks berseru:
We all get paid
Yeah some get faith before they die
Then through stars we will navigate
Through the holes in your eyes

Lagu-lagu mereka (tentunya) mengingatkan saya pada Joy Division, satu lagi band yang beberapa waktu terakhir ini saya dengarkan berulang-ulang. Karakter vokal Banks membuat saya gampang sekali melamun, mengingat kejadian semalam yang terasa lucu jika dibahas sekarang.

Saya dan dua orang lainnya. Itu hal lain yang melintas ketika saya membuat tulisan ini. Yang satu meledak-ledak dengan semangat yang sepertinya selalu terisi penuh. Entah dia mendapatkan tenaga dari mana tapi pipinya selalu bersemu merah karena semangat. Yang lainnya lebih tenang dengan cara bertutur yang teratur, hampir tidak ada lonjakan intonasi. Tidak melulu datar memang tapi dia tahu gimana caranya bicara. Dan dia tahu apa yang harus dia katakan.

Hum... saya, interpol, dua orang tak dikenal.

"We should take a trip now to see places
I'm sick of this town
I see my face has changed."