Saya baru kembali dari liburan keluarga di Bali. Pelesir keluarga setelah entah berapa lama kami tidak pernah menghabiskan waktu bersama-sama. Perjalanan kemarin itu semacam membayar jeda 24 tahun, 1987 - 2011, perjalanan terakhir orangtua saya ke pulau itu. Seorang teman bertanya bagaimana orangtua saya memandang Bali sekarang. Mostly amused, tanpa ada rasa senang atau tidak senang yang nyata. Ibu saya punya ketidaksukaannya sendiri terhadap kuliner Bali dan hal lainnya, tapi lebih banyak soal itu dalam tulisan lain.
Sebenarnya yang menarik, untuk saya, dari perjalanan ke Bali ini adalah pembicaraan yang terjadi sesudah liburan berakhir. Pembicaraan itu terjadi dengan seorang teman dari Australia yang sudah menetap di ibukota selama beberapa tahun terakhir. Saya menemuinya untuk memberikan sepaket kecil kopi Bali dan tentu saja menceritakan perihal liburan ini. Terhadap si teman Aussie ini, saya menceritakan betapa banyaknya turis Australia di pulau itu (saya menginap di daerah Kuta Legian) dan bagaimana mereka mencolok karena jumlah.
Saya menyadari bahwa orang-orang Australia tersebut (terutama yang muda) tidak berusaha berinteraksi dengan turis lokal. Jika pun mereka berinteraksi dengan orang lokal, itu semata-mata (menurut saya) karena kemudahan transaksi atau kualitas pelayanan yang baik saja. Hubungan mereka dengan orang lokal terbatas pada pertukaran uang - jasa. Teman saya mengatakan Bali sudah menjadi semacam North Coast-nya Australia, dengan peselancar, pengendara motor besar, penyuka kelab malam, dan entah apa lagi bersatu berkumpul dalam satu pulau kecil. Menurutnya, para bule ini kerap kali tidak sadar mereka ada di negara yang berbeda, maka dari itu mencari hal-hal berbeda atau berinteraksi dengan orang yang berbeda. Lagi-lagi ini karena jumlah turis Australia yang banyak dan bagaimana pihak penyedia jasa sendiri berusaha "menyamankan" para turis ini dengan menyajikan hal-hal berbau rumah.
Saya ingat leher saya nyaris keseleo ketika menengok terlalu cepat mendengar seseorang mengatakan "G'day, mate!" dengan logat Australia kental. Wajah tersenyum sumber suara yang saya dengar ternyata adalah salah satu pelayan restoran. Tentu saja dia bukan orang Australia. Tapi tampaknya penting bagi mereka, si penyedia jasa, untuk mengadopsi hal-hal macam ini. Termasuk mampu bicara bahasa Inggris dengan aksen paling mengganggu telinga.
Satu hal, yang menurut saya dan si teman, terasa cukup aneh dan mengganggu adalah bagaimana para orang asing di Bali terasa tetap asing. Dia menceritakan beberapa orang asing (Australian) yang dia kenal sudah tinggal di Bali bertahun-tahun bahkan berbelas-belas tahun dan masih tidak paham bahasa Indonesia; bagaimana mereka tidak atau jarang berinteraksi dengan kebudayaan lokal. Mereka meneruskan pola hidup sebelum mereka datang ke Bali dan tidak berusaha keras untuk mengintegrasikan diri ke kebaruan di sekeliling mereka. Kedatangan para orang asing ini pun tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap masyarakat Bali. Si teman bercerita bahwa yogis Bali tidak mampu mengikuti festival-festival yoga internasional karena entry fee yang kelewat mahal. Sementara beberapa (atau mungkin banyak) orang dari dunia "Barat" yang datang ke "Timur" (Bali) untuk (katanya) mencari kepuasan spiritual.
Saya juga ingat pengalaman teman lain yang bekerja untuk sebuah NGO kecil di sana. Si pemilik, orang asing, ingin melakukan sesuatu untuk kebaikan banyak orang. Terdengar mulia memang, tapi sayangnya NGO pendidikan yang dia dirikan tidak berjalan baik karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya masyarakat butuhkan dari NGO macam itu. Dia tidak tahu karena selama empat tahun tinggal di Bali, kemampuannya berbahasa Indonesia tidak lebih baik dari seorang yang baru saja berkunjung selama sebulan. Itu dan kelemahan manajerial membuat NGO ini berjalan tanpa arah yang jelas.
Si teman diskusi saya mengeluarkan satu analogi yang sangat tepat untuk situasi ini: "They [the foreigners] are like oil on the water. They just float there." Dan saya mengangguk-angguk setuju. Saya agak sedikit khawatir hal ini akan mengikis wajah Bali yang sebenarnya menjadi sesuatu yang sama sekali asing dan berjarak. Bukan perkara menolak kemajuan atau globalisasi atau apa pun itu. Saya hanya cemas kekayaan budaya kemudian hanyalah menjadi gimmick bukan identitas lagi.
No comments:
Post a Comment