Bandung dengan udaranya yang menggigit malam itu, saya yang mendamparkan diri di sebuah pertunjukkan musik yang katanya harus jalan terus meskipun ada Earth Hour, saat ketika kita semua diminta mematikan semua peralatan listrik.
Malam itu membangkitkan banyak ingatan, mengutip perkataan si teman yang duduk bersandar di tembok sebelah saya yang juga menyembunyikan diri di tembok jauh dari kerumunan. Sementara kami sedang ngobrol tak jelas, lelaki bertampang lucu berkacamata bertubuh tinggi semampai melintas di depan kami. Sesaat kemudian saya tersadar bahwa itu adalah salah satu awak grup yang akan kami tonton. Tertawa, berpikir untuk menjegal kakinya dan membawanya pulang ke rumah.
Hujan malam temaram di kota ini. Saya sempat terbengong-bengong di tengah kebisingan musik satu band lokal yang saat itu ada di atas panggung. Ingatan kembali ke masa-masa berseragam, dengan kebisingan yang mirip, kerumunan yang hampir serupa. Berpasang-pasang, bergandeng tangan, tertawa terkikik-kikik dan mendesah ketika lagu favorit dimainkan. Kemudian si teman mengomentari sepasang yang duduk berlawanan dari kami, menyisakan satu kursi kosong di sebelah mereka.... "Ah ya, memang kalau sudah begitu, dunia serasa milik berdua toh," ujarnya sinis karena kami tak berhasil mendapatkan kursi di dalam ruangan pertunjukkan dan hanya ada kursi kosong untuk satu orang di beberapa baris yang berbeda. Itu karena sebagian besar datang berpasang-pasangan.
Pertanyaan yang sama berulang, "Kenapa putus?" Saya tersenyum simpul dan menepuk-nepuk punggung si teman. Suasana ini terdengar terlalu familiar. Bertemu dengan beberapa teman lama, diberi pertanyaan yang sama, "Ke mana aja?" Saya ingin menjawab sebenarnya: ah, saya tak ke mana-mana. Selalu di tempat yang sama, tempat saya bisa menemukan diri saya sendiri. Alih-alih, saya menjawab "Jakarta..."
Bandung yang hujan melulu, dingin dan membuat asma saya kambuh. Tapi saya tak ingin "pulang", saya ingin tinggal.
No comments:
Post a Comment